Sabtu, 04 November 2017

Panggung Sandiwara

Aku menulis ini karena kejadian tadi malam. Err, bukannya kejadian, sih. Jadi hanya sebatas mimpi saja.

Sebelumnya―sebelum tidur―aku mengotak-atik laptop karena teringat hal yang terjadi tadi siang. Aku dan kedua temanku ada di sebuah restoran makan jepang yang sebenarnya sudah lama kuketahui sebelum mereka. Kebetulan saat SMA aku pernah beberapa kali ke sana. Karenanya, aku membandingkan keadaan itu sepulang kuliah dengan foto yang ada di laptop.

Jauh berbeda.

Kebetulan, foto itu kumasukkan dalam folder berjudul Blue Spring, yang berarti masa muda kalau kedua kata itu ditulis dalam kanji Jepang.

Oke, lupakan.

Setelahnya, aku malah terlena pada foto-foto lain. Foto yang kebanyakan isinya bukan seorang dua orang. Melainkan sekumpulan. Dan di situ ... aku kembali teringat akan keberadaannya.

Payah.

Harusnya aku sudah lupa berhubung manusia itu sudah jauh di seberang cakrawala sana. Dan bodohnya lagi ... aku malah menangis, lalu menertawakan diri sendiri di depan layar itu.

Juga, kalau diingat-ingat. Ucapannya yang dulu terdengar sepintas di telingaku benar-benar nyata. Ucapan yang ia lontarkan di depan kelas saat aku ada di sebelahnya. "Lu, bukannya jago akting?"

Menohok diriku saat itu dan ... saat ini. Ya, aku memang pandai melakukan hal itu kalau dipikir-pikir. Bukan di atas panggung pentas, karena aku terlalu takut di tempat penuh kepura-puraan itu. Tapi kenapa, di panggung yang sesungguhnya, dalam kehidupan ini, aku terlalu sering melakukannya.

Buruk.

Menyedihkan.

Tapi ... andaikan aku bisa berpura-pura lagi. Seperti saat aku berpura-pura tak menyukainya, lantas hidup dengan penuh sandiwara di dalamnya.

“Sekarang ... aku harus apa?” tanya hati ini.

Dan setelahnya, aku hanya terlelap dan kembali ke masa itu tanpa akting yang baik. Di dalam mimpi.